Pudar Yang Bercahaya
Matahari sudah sejak tadi duduk dan menunggu
Bayangan hitam berdiri di tiang Sang Merah Putih
Kau datang, meski api tak lagi berteman dengan es
Selangkah di gerbang tua, meski dua helai tak berpijak
Bagai meniti di gurun Sahara, berbalik dari Utara
Ocehan burung gagak mendengung di benak
Kicau burung sudah musnah pada sebelumnnya
Sesekali terantuk dari gonggongan villa
Tak berpendar lagi, meringkuk di bangku almamater
3 kali panggilan menggertak hati dan lintasan otak
Senyuman merekah di balik sedu sedan
Sakit, rasanya !
Kau teriak, beri ilmu yang telah dipelajari berabad
Air mata sudah menetes, Kau usap dengan ketegaran
Selangkah dari depan, mengusap rambut
Saling bicara dari kekosongan, meski hirau sudah menggelegar
Jatuh lagi ! Kau usap dengan sapu tangan Sutera Hijau
Sudah rapuh, suara serak masih berjalan di nadi tangan
Petuah bijak diikhlaskan untuk hati yang beku !
Sudah berdering di puncak gunung Sion
Selangkah di depan
Topangan untuk kedua kalinya
Setiap jengkal sudah tercatat di pucuk senja
Demi hidup, lewat hidup yang jatuh
Mulai melemah !
Kami datang dengan perkakas masa depan
Goresan pena, hitam di atas putih tertumpah
Tidak untuk sekarang, akan kami simpan
Untuk medan perang di tahun depan, tahun depan, tahun depan
lagi !
Teriakan berkobar-kobar
Untuk yang memanjat tebing di malam gelap
Untuk yang pergi di abad depan
Senyum merekah, walau sakit
Kami berjalan, terantuk, Kau topang, Kau angkat kami
Seharusnya kami ! Kami yang menopang !
Kata mengalir, meski dibalik batu granit
Piala emas sudah berdendang di singgasana
Kau beri kami kata yang indah
Meski lama, untuk menempuh
Piala emas, dari peribahasa berilmu kala
Jatuh lagi ! Kau usap dengan sepia
Jantung berdetak ketika ulam tiba
Selangkah tetap diambil untuk sampai di gerbang Cor Jesu
Menanti mata rapuh berbicara
Berbicara untuk Bulan yang terlelap
Lelah ! berbaris karena kemauan
1 menit tertumpah karena pesan
\ Kau duduk dalam senyuman
Perih dan kesakitan bergulat
Untuk sesaat, jubah putih tersirat
Di ranjang kesakitan….
Mata terkatup, detak sudah berhenti
Tapi tidak mungkin !
Karena suaranya tidak akan hilang
Hiruk pikuk dunia sirna
Kami sudah bawa perkakas masa depan
Terhempas di lautan dalam sesaat !
Sang cendekia sudah pulang !
Tinggalkan peta untuk berpetualang
Kami akan menelusuri
Meski Bumi dan Guntur telah bercerai
Di dalam teduh kenyamanan
Kami lihat mata yang bicara
Untuk bertempur di medan perang !
Untuk bertempur di medan perang !
Malam menjemput duka
Sedu sedan berbalik arah
Dan tangan akan selalu terkatup
Kini ia berjalan menjemput cahaya Ilahi
Yang kami lihat hanya bangku
Disanalah sang cendekiawan berpalu-talu
Dalam waktu yang lalu haru
Suaranya selalu terngiang
Untuk kami Muridmu!
Berjalan di depan, di belakang tak ada jembatan
Tataplah ke depan, jangan ragu !
Selamat Jalan Bu Rini
“ Tatkala genting menggetarkan tetes air pilu, disana kami ingat pesan dan peta masa depan darimu”
(Dipersembahkan untuk Alm. Ibu Sisilia Sudiharini)
Oleh : Maria Nightingale/8d